Ekonomi Syariah Untuk Kemaslahatan Bangsa |
(Argumentasi Rasional RUU Sukuk dan RUU Perbankan Syariah) Kelahiran Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)sebenarnya sudah diambang pintu. Sejak lama masyarakat ekonomi syariah mendambakan dan menanti kehadirannya di Indonesia. Saat ini, DPR RI tengah mengagendakan pembahasan kedua RUU ekonomi syariah tersebut yang direncanakan akan dibahas bulan April mendatang. Namun secara phobi dan irrasional, Partai Damai Sejahtera (PDS) menolak pembahasan kedua RUU tersebut. Memang, di alam demokrasi penolakan tersebut adalah sesuatu yang wajar, tetapi penolakan secara membabi buta dan emosional adalah suatu tindakan yang sangat naif. Penolakan PDS terhadap kedua RUU ekonomi syariah tersebut antara lain disebabkan karena PDS salah faham dengan ekonomi syariah. Karakter dasar ekonomi syariah ialah sifatnya yang universal dan inklusif. Ekonomi syariah mengajarkan tegaknya nilai-nilai keadilan, kejujuran, transparansi, anti korupsi, dan ekspolitasi. Artinya misi utama ekonomi syariah adalah tegaknya nilai-nilai akhlak moral dalam aktivitas bisnis, baik individu, perusahaan ataupun negara.
Sebagaimana disebut tadi, karakter fundamental dari ekonomi syariah, adalah universal dan inklusif. Bukti universalisme dan inklusivisme ekonomi syariah cukup banyak.
Pertama,
bahwa ekonomi syariah telah dipraktikkan di berbagai negara Eropa,
Amerika, Australia, Afrika dan Asia. Singapura sebagai negara sekuler
juga mengakomodasi sistem keuangan syariah. Bank-Bank raksasa seperti
ABN Amro, City Bank, HSBC dan lain-lain, sejak lama telah menerapkan
sistem syari’ah. Demikian pula ANZ Australia, juga telah membuka unit
syari’ah dengan nama First ANZ International Modaraba, Ltd. Jepang,
Korea, Belanda juga siap mengakomodasi sistem syariah. Bagaimana PDS
memandang fakta-fakta ini?
Fakta
itu sejalan dengan laporan the Banker, seperti dikutip info bank (2006)
ternyata Bank Islam bukan hanya di dirikan dan dimiliki oleh negara
atau kelompok muslim, tetapi juga di negara-negara non muslim, seperti
United kingdom, USA, Kanada, Luxemburg, Switzerland, Denmark, Afrika
Selatan, Australia, India, Srilangka, Fhilipina, Cyprus, Virgin Island,
Cayman Island, Swiss, Bahama, dan sebagainya. Sekedar
contoh tambahan, di luxemburg, yang menjadi Managing Directors di
Islamic Bank Internasional of Denmark adalah non Muslim yaitu Dr. Ganner
Thorland Jepsen dan Mr. Erick Trolle Schulzt.
Kedua,
kajian akademis mengenai ekonomi syariah juga banyak dilakukan di
universitas-universitas Amerika dan negara Barat lainnya . Di antaranya,
Universitas Loughborough di Inggris. Universitas Wales, Universitas
Lampeter yang semuanya juga di Inggeris. Demikian pula Harvard School of
Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong, Australia. Di
Harvard University setiap tahun digelar seminar ekonomi syariah bernama Harvard University Forum yang membahas tentang Islamic Finance.
Malah, tahun 2000 Harvard University menjadi tuan rumah pelaksanaan konferensi Internasional Ekonomi Islam Ke-3.
Perhatian mereka kepada ekonomi syariah dikarenakan keunggulan doktrin dan sistem ekonomi syariah. Karena itulah, maka banyak
ekonom non muslim yang menaruh perhatian kepada ekonomi syariah serta
memberikan dukungan dan rasa salut pada ajaran ekonomi syariah, seperti Prof
Volker Ninhaus dari Jerman (Bochum Universitry), William Shakpeare,
Rodney Wilson, dan sebagainya. Dr. Iwan Triyuwono, seorang ahli
akuntansi dari Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, ketika menulis
disertasinya tentang akuntansi syari’ah di Universitas
Wolongong, Australia, mendapat bimbingan dari promotor, seorang ahli
akuntansi syari’ah yang ternyata seorang pastur.
Ketiga,
Harus pahami larangan riba (usury) yang menjadi jantung sistem ekonomi
syariah bukan saja ajaran agama Islam, tetapi juga larangan agama-agama
lainnya, seperti Nasrani dan Yahudi. Dengan demikian, bagi pemeluk agama
manapun, ekonomi syariah sesungguhnya tidak menjadi masalah.
Pandangan agama Yahudi mengenai bunga terdapat dalam kitab perjanjian lama pasal
22 ayat 25 yang berbunyi, Jika engkau memin-jamkan uang kepada salah
seorang dari umatku yang miskin diantara kamu, maka janganlah enkau
berkaku seperti orang penagih hutang dan janganlah engkau
bebankan bunga uang padanya, melainkan engkau harus takut pada Allahmu
supaya saudaramu dapat hidup diantaramu”.
Pandangan
agama Nasrani mengenal bunga, terdapat dalam kitab perjanjian lama
kitab deuteronomiy pasal 23 ayat 19.”Janganlah engkau membungakan uang
terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makan yang
dibungakan”.Selanjutnya dalam perjanjian baru dalam injil lukas ayat 34
disebutkan, “Jika kamu menghutangi kepada orang yang kamu harapkan
imbalannya, maka dimana sebenarnya kehormatan kamu, tetapi berbuatlah
kebajikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya
karena pahala kamu akan banyak”.
Melihat
pandangan kedua agama tersebut tentang pelarangan bunga, amatlah tepat
untuk menyimpulkan bahwa umat non muslimpun harus menyambut baik
lembaga-lembaga keuangan dan system ekonomi tanpa bunga. Hal ini
dikarenakan ekonomi syariah telah memberikan jalan keluar dari larangan
kitab suci di atas. Dan inilah agaknya sarana yang paling tepat untuk
mengembangkan kerja sama dalam memerangi bunga yang telah dilarang agama
samawi tersebut. Fakta kerjasama ini telah banyak terjadi di Indonesia,
seperti di Kupang, Palu, Menado, Maluku Utara dan sebagainya. Para
deposan dan nasabah bank-bank syariah banyak (dominan) dari kalangan non
muslim dan tokohnya para pendeta.
Keempat,
para filosof Yunani yang tidak beragama Islam juga mengecam sistem
bunga. Sejarah mencatat, bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban
tinggi, melarang keras peminjaman uang dengan bunga. Aristoteles dalam
karyanya politics telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa
Yunani kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa
bimbingan wahyu, ia menilai bahwa sistem bunga merupakan sistem yang
tidak adil. Menurutnya uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur.
Sekeping
mata uang tidak bisa beranak kepingan uang yang lain. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang
rendah derajatnya. Sementara itu, Plato (427-345 SM), dalam bukunya “LAWS”, juga mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktek yang zholim. Menurut Plato, uang hanya berfungsi sebagai alat tukar, pengukuran nilai dan penimbunan kekayaan. Uang sendiri menurutnya bersifat mandul (tidak bisa beranak dengan sendirinya).
Uang
baru bisa bertambah kalau ada aktivitas bisnis riel. Pendapat yang sama
juga dikemukan Cicero. Ketiga filosof Yunani yang paling terkemuka itu
dipandang cukup representatif untuk mewakili pandangan filosof Yunani tentang larangan bunga.
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut, maka tidak perlu ada yang takut (phobi) kepada
ekonomi syariah, karena manfaat ekonomi syariah akan dinikmati oleh
semua komponen rakyat di Indonesia, bahkan jika diterapkan di skala
global, akan menciptakan tata ekonomi dunia yang adil dan makmur.
Ekonomi
syariah yang melarang kegiatan riba dan spekulasi, akan menciptakan
stabilitas ekonomi bangsa secara menyeluruh. Ekonomi syariah yang
mengedepankan gerakan sektor riil (bukan derivatif), akan secara
signifikan menumbuhkan ekonomi nasional dan tentunya ekonomi rakyat.
Tegasnya, ekonomi syariah akan membantu pembangunan ekonomi negara dan
bangsa.
Argumentasi-argumentasi lain.
Alasan-alasan penerimaan RUU Perbankan dan RUU Surat Berharga Syariah Negara, menjadi Undangt-Undang antara lain :
Pertama,
secara yuridis, kehadiran UU Sukuk dan UU Perbankan syariah adalah
didasarkan pada Pancasila dan UUD 45. Jadi, penerapan hukum ekonomi
syariah di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29
ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa, pada dasarnya mengandung tiga makna, yaitu:
a.
Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan
kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
b.
Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan
kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;
c.
Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang
siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham ateisme).
Dalam
pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata “menjamin”
sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945 tersebut bersifat
“imperatif”. Artinya negara berkewajiban secara aktif melakukan
upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu
Sebenarnya, melalui
ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya
yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat
dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum
positif nasional
Keharusan
tiadanya materi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa tersebut adalah
konsekuensi diterapkannya Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah
prinsip dasar penyelenggaraan negara Jadi, kehadiran kedua
Undang-Undang ekonomi syariah tersebut, tidak bertantangan dengan
Pancasila, UUD 45 dan tidak menggangu keutuhan NKRI.
Kedua,
secara faktual, sistem ekonomi syariah melalui perbankan telah terbukti
menunjukkan keeunggulannya di masa-masa krisis, khususnya krisis yang
diawali tahun 1997. Ketika semua bank mengalami goncangan hebat dan
sebagian besar dilikuidasi, tetapi bank-bank syariah aman dan selamat
dari badai hebat tersebut, karena sistemnya bagi hasil. Ajaibnya, bank
syariah dapat berkembang tanpa dibantu sepeserpun oleh pemerintah.
Sementara bank-bank konvensional hanya dapat bertahan karena memeras
dana APBN dalam jumlah ratusan triliun melalui BLBI dan bunga
obligasi.Hal itu berlangsung sampai detik ini. Dana APBN itu adalah hak
seluruh rakyat Indonesia, tetapi rakyat terpaksa dikorbankan demi
membela bank-bank sistem konvensional agar bisa bertahan. Perbankan
syariah tampil sebagai penyelamat ekonomi negara dan bangsa. Maka sangat
tidak logis dan irrasional, jika ada pihak yang menolak kehadiran
regulasi syariah.
Jadi,
yang hendak ditawarkan ekonomi syariah bukanlah ajaran agama tertentu,
tetapi adalah nilai-nilai keadilan, kejujuran , tranparansi, tanggung
jawab, yang menjadi nilai-nilai universal bagi semua orang. Nilai-nilai
itu berasal dari Alquran hadits.
Ketiga,
secara historis, pengundangan (legislasi) hukum syariah di Indonesia
telah banyak terjadi di Indonesia, seperti UU No 7/1989 tentang
Peradilan Agama yang selanjutnya diamendemen UU No 3 Tahun 2006.
Demikian pula UU tentang pengelolaan Zakat, UU Perwaqafan, dan UU Haji.
Undang-Undang yang mengatur hukum untuk umat Islam saja dapat diterima
DPR, apalagi Undang-Undang tentang ekonomi yang bertujuan untuk
kebaikan, kemajuan dan kemaslahatan bangsa dan negara secara universal,
jelas semakin penting untuk diterima dan diwujudkan oleh siapapun yang
terpanggil untuk kemajuan negara.
Keempat,
Dengan diundangkannya RUU Sukuk (SBSN), maka aliran dana investasi ke
Indonesia akan meningkat, baik dari Luar Negeri (utamanya Timur Tengah)
maupun dalam negeri. Menolak RUU tersebut berarti menolak investasi masuk
ke Indonesia dan itu berarti menolak kemajuan ekonomi bangsa. Harus
disadari, bahwa tujuan ekonomi syariah adalah untuk kemaslahatan seluruh
bangsa Indonesia, bukan kelompok tertentu. Pihak yang menolak seperti
PDS harus berbesar hati dan bergembira dengan kehadiran kedua
Undang-Undang tersebut. Bukan malah secara phobi dan membabi buta
menolak dengan alasan sentimentil (hamiyyah) atau kebencian kepada agama
tertentu.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar